halaman

Senin, 02 Juli 2012

Dialog antara Guru - Murid

Guru : "Rukun Iman ada berapa?"
Murid : "Ada enam!"
Guru : "Sebutkan!" Murid : "Wah ustadz...itukan pelajaran masih kecil, kita semua sudah tahu tentang hal itu, jadi tidak perlu diulang lagi..."
Guru : "Ana hanya minta antum sebutkan saja kalau antum benar sudah tahu..."
Murid : "Iman kepada Allah, malaikat2Nya, kitab2Nya, Rasul2Nya, Hari Akhir, Takdir baik dan buruk."
Guru : "Baiklah kalau antum sudah tahu. Sekarang, apakah antum mengimani semua rukun iman tersebut secara keseluruhan?"
Murid : "Jelas dong ustadz...kalau tidak mengimani salah satunya, bukan Muslim namanya..."
Guru : "Baiklah, sekarang kita perinci lagi..."
Murid : (???)
Guru : "Pembahasan pertama tentang Iman kepada Allah. Iman kepada Allah ada berapa perkara?"
Murid : "Haah??? Emang ada pembagiannya lagi?"
Guru : "Ya ada. Katanya antum sudah tahu semua, itu kan pelajaran masih kecil?!"
Murid : "Tapi ana belum pernah diajarin oleh guru2 ana terdahulu. Ana baru tahu sekarang kalau Iman kepada Allah masih memiliki pembagiannya lagi...Apakah itu bukan termasuk hal yang diada-adakan??" Guru : "Maksudnya?" Murid : "Jangan-jangan pembagian Iman kepada Allah menjadi beberapa rukun adalah bid'ah (perkara yang diada2kan), soalnya guru2 ana belum pernah ngajarin ana tentang itu. Kalau bukan bid'ah mana dalil shahih tentang pembagian tersebut??"
Guru : "Pembagian tersebut seperti halnya para ulama menjelaskan bahwa Shalat itu ada pembagiannya juga, memiliki Rukun Shalat, Syarat Shalat, Wajib Shalat, Sunnah Shalat, dan lainnya. Hal tersebut dikumpulkan oleh para ulama setelah mereka melakukan penelitian, dan itu bukan tergolong bid'ah. Jika pembagian tersebut adalah bid'ah, niscaya rukun Shalat juga termasuk bid'ah?! Dan bukan berarti apa yang tidak diajarkan oleh guru antum kepada antum itu adalah bid'ah. Apakah guru antum pernah mengajarkan ilmu Mushthalahul Hadits kepada antum?"
Murid : "Belum pernah..."
Guru : "Kalau belum pernah, apakah ilmu Mushthalahul Hadits itu adalah perkara bid'ah?"
Murid : "Bukan bid'ah."
Guru : "Kalau bukan bid'ah, begitu juga tentang pembagian iman kepada Allah bukanlah bid'ah."
Murid : "Hmmm....Kalau begitu apa saja pembagian dari Iman kepada Allah?"
Guru : "Iman kepada Allah memiliki 4 perkara. Yang pertama adalah Iman kepada Wujud Allah. Dalilnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya, “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? (QS. Ath-Thur:35).Apakah antum mengimani bahwa Allah itu ada?"
Murid : "Ya. Ana mengimani kalau Allah itu ada."
Guru : "Untuk perkara pertama, antum selamat insya Allah. Yang kedua adalah, Mengimani rububiyah Allah ta’ala (maksudnya ‘mengimani sepenuhnya bahwa Dialah satu-satunya Rab,‘Dzat yang menciptakan, memiliki, serta mengatur semesta alam’. Jadi, tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada yang bisa mengatur alam semesta, menghidupkan, serta mematikan, selain Allah ta’ala). Allah berfirman, yang artinya, “Ingatlah, menciptakan dan mengatur hanya milik Allah. Mahasuci Allah … (QS. Al-A’raf:54). Apakah antum mengimani tingkatan kedua ini?"
Murid : "Iya, ana beriman kepada Rububiyah Allah."
Guru : "Apakah antum percaya Nyi Roro Kidul?"
Murid : "Kalau orangtua saya yang orang Jogja percaya kepada Nyi Roro Kidul."
Guru : "Bagaimana dengan antum sendiri?"
Murid : "Orangtua saya mungkin lebih paham daripada saya, jadi saya masih mengikuti orangtua saya."
Guru : "Siapakah Nyi Roro Kidul? Antum tahu?"
Murid : "Katanya, dia adalah penguasa pantai selatan."
Guru : "Subhanallah (Maha SUci Allah)!!...Dalam masalah ini antum telah salah. Secara tidak sadar, antum telah menyekutukan Allah dalam masalah Rububiyah Allah, menyakini ada penguasa lain selain Allah...wal iyadzubillah. Bertaubatlah dan ucapkan syahadat!"
Murid : (mengucapkan syahadat).
Guru : "Yang ketiga adalah Mengimani uluhiyah Allah ta’ala (Artinya, mengimani dan mengamalkan konsekuensi bahwa Dialah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya). Allah ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia; yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Baqarah:163). Apakah antum mengimani Uluhiyah Allah?" Murid : "Iya, ana mengimaninya." Guru : "Apakah antum pernah memberikan sesajen kepada Nyi Roro Kidul?"
Murid : "Pernah, tapi waktu itu ana hanya ikut2an orangtua saja, memberikan sesajen ke pantai agar kami tidak terkena musibah."
Guru : "Subhanallah (Maha SUci Allah)!!...Dalam masalah ini antum juga telah salah. Secara tidak sadar, antum telah menyekutukan Allah dalam masalah Uluhiyah Allah, pernah beribadah dengan memberikan sesajen dan meminta perlindungan kepada penguasa lain selain Allah...wal iyadzubillah. Bertaubatlah dan ucapkan syahadat!"
Murid : (mengucapkan syahadat).
Guru : Dan tingkatan terakhir adalah Mengimani Nama dan Shifat Allah ta’ala (maksudnya, Beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala adalah dengan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam Alquran atau sunah Rasul-Nya, sesuai dengan kebesaran-Nya, tanpa tahrif (penyelewengan), ta’thil (penghapusan), takyif (menanyakan kaifiyahnya), dan tamtsil (penyerupaan)). Dia juga berfirman, yang artinya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura:11). Apakah antum mengimani Nama dan Shifat Allah?" Murid : "Iya, ana mengimaninya."
Guru : "Kalau antum mengimaninya, dimanakah Allah?"
Murid : "Allah ada dimana-mana."
Guru : "Kalau Allah ada dimana-mana, berarti Allah juga ada di dalam WC? di tempat sampah? Allah ada di Amerika? Allah ada di Bekasi? di Bojonggede? Maha Suci Allah...
Murid : "Hmm...salah ya? berarti Allah itu tidak dimana-mana, Allah itu tanpa tempat dan tanpa arah..."
Guru : "Kalau Allah itu tanpa tempat dan tanpa arah, lantas kenapa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mi'raj (naik) ke langit untuk menghadap kepada Allah?"
Murid : "Jadi apa jawabannya?"
Guru : "Allah itu diatas langit ('Arsy). Dari Muawiyah bin Hakam As-Sulami -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “…Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai pengembala kambing di gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (tempat dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?” Jawab beliau: “Bawalah budak itu padaku”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Dimana Allah?” Jawab budak tersebut: “Di atas langit”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: “Siapa saya?”. Jawab budak tersebut: “Engkau adalah Rasulullah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah”. (Imam Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim”). Dan dalam Al Qur'an juga disebutkan, "Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) bersemayam di atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5)."
Murid : "Berarti apa yang ana imani selama ini salah donk?"
Guru : "Iya. Untuk perkara keempat antum telah salah. Lihatlah...dalam pembahasan Iman kepada Allah saja antum masih memiliki keyakinan yang keliru. Dari empat perkara, ketiganya antum telah salah dalam mengimani. Bukankah awal tadi antum mengatakan bahwa antum mengimani semuanya?? Ini baru di pembahasan pertama, yaitu Iman kepada Allah, belum masuk ke pembahasan berikutnya, yaitu pembahasan tentang:
- Iman kepada Malaikat, ada 4 unsur.
- Iman kepada Kitab-kitab, ada 4 unsur juga.
- Iman kepada para Rasul, ada 4 unsur juga.
- Iman kepada Hari Akhir, ada 3 unsur.
- dan Iman kepada Takdir baik dan buruk, ada 4 unsur."
Murid : "Wah koq jadi banyak begini pembagiannya??...Tolong dijelaskan masing-masing ustadz, agar ana tidak terjerumus kepada aqidah yang menyesatkan..."
Guru : "Untuk menjelaskan masing2 butuh waktu yang tidak sedikit. Makanya mulai sekarang antum harus lebih giat dan banyak lagi dalam menuntut ilmu. Insya Allah nanti akan ana jelaskan kepada antum semuanya."
Murid : "Syukran ustadz atas ilmunya...Alhamdulillah..."

--SELESAI--
Source : Prazetya
(Dialog ini hanya rekaan/imajinasi)

Minggu, 01 Juli 2012

Berburu Kursi, Berebut Jabatan



Abu Dzar al-Ghifari sahabat Nabi SAW yang zuhud dan wara.
Sebagai sosok yang saleh dan sangat bersahaja. Dia bahkan tokoh ternama ah lal-shufah, yang selalu berkumpul di beranda rumah Nabi bersama mereka yang ahli ibadah, tetapi cenderung menjauhi dunia. Ketika figur yang baik ini meminta jabatan, seraya Nabi mencegahnya. Bahwa urusan publik harus ditunaikan oleh ahlinya sekaligus mampu mempertanggung jawabkannya.

Umar bin Khattab ketika hendak menerima amanat kekhalifahan menggantikan Abu Bakar merasa berat, karena betapa ia merasa tak mampu melampaui kebaikan Khalifah pertama itu. Padahal, sejarah mencatat betapa Umar yang lebih suka disebut Amir al-Mu'minin itu terbilang pemimpin yang kuat, sukses, dan paling menjunjung tinggi amanat dalam mengurus rakyat. Dialah sosok al-Faruq.

Khalid bin Walid setelah masuk Islam menjadi panglima perang tertangguh hingga dijuluki Nabi sebagai syaifullah (pedang Allah). Perluasan Islam hingga ke Mesir, Irak, dan Syam di masa Khalifah Umar bin Khattab tidak lepas dari keperkasaan Khalid. Tetapi, dalam peristiwa penaklukan Syam, Khalid tiba-tiba dicopot Umar dari jabatannya sebagai panglima perang. Bagaimana sikap Khalid? Dia ikhlas menerimanya seraya berkata, aku berperang bukan karena Umar, melainkan karena Allah.

Bagi Nabi dan para sahabatnya yang utama jabatan bukan posisi yang ditempati, apalagi harus dikejar dengan hasrat ambisi. Jabatan itu mutlak amanah yang wajib ditunaikan dengan komitmen dan pertanggungjawaban yang tinggi. Kesatriaan (al-futuwwah) siapa pun yang bersedia memegang jabatan umat atau rakyat terletak pada penunaian amanah dan pertanggung jawabannya dengan penuh kehormatan diri.

Komitmen jabatan

Di negeri ini, para elite dan anak-anak negeri banyak berburu jabatan-jabatan publik dengan penuh percaya diri. Demokrasi telah mengajarkan secara fasih bagaimana para elite berebut posisi politik tanpa rasa sungkan, tidak jarang dengan sikap narsis, dan gampang beriklan diri. Demi posisi tinggi, politik uang dan upeti pun menjadi tradisi, yang tidak jarang diperoleh dengan korupsi.
Semuanya seolah serba mudah dan sekadar jalan mobilitas diri seakan tanpa konsekuensi.

Semoga niat utama meraih posisi-posisi publik yang penting dan strategis itu benar-benar bermotif mengabdi pada negeri dan mengurus hajat hidup rakyat. Sebagai jalan mewujudkan cita-cita nasional yang diletakkan oleh para pendiri bangsa ini. Lebih bermakna lagi manakala menjadi jalan menuju rida Tuhan.
Sebab, setiap posisi publik selain dibayar dengan uang rakyat, seluruhnya memang untuk mengurus hajat hidup orang banyak sehingga negeri ini semakin maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat.

Alangkah naif manakala jabatan-jabatan publik itu hanya dijadikan lahan mobilitas diri untuk meraih kuasa, harta, dan kejayaan duniawi. Sejumlah kasus tragis menunjukkan mereka yang sudah di posisi-posisi publik itu kalau tidak korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan, kemudian pindah posisi, bahkan lompat jabatan baru ke yang lebih tinggi sebelum jabatan lama usai. Jabatan-jabatan penting itu malah dijadikan "bancakan" untuk bagi-bagi uang dan posisi, sekaligus memperkaya diri dan kroni. Mereka lupa posisi yang ditempati bukanlah miliknya sendiri, melainkan sekadar titipan rakyat untuk ditunaikan sebagai amanah terpuji.

Tahun 2014, pasti akan menjadi masa paling krusial di negeri ini. Para menteri dan politisi sudah bersiap diri 'nampang' posisi hingga iklan diri dengan uang dari kementeriannya. Janji dan pesona diri tentu akan semakin bertaburan. Para wakil rakyat pun malah giat bangun toilet dan ruang sidang miliaran rupiah seolah uang negara adalah miliknya sendiri. Rupanya jabatan bukan lagi amanat yang harus dipertanggungjawabkan secara jujur dan penuh komitmen, kecuali menjadi sarana bermegah-megah di tengah derita rakyat yang diwakili dalam hidup miskin dan teraniaya sistem.

Kita tidak tahu persis apa yang bersarang dalam benak pikiran para elite dan anak negeri yang menempati jabatan-jabatan publik di negeri ini. Bagaimana mereka menjiwai, memahami, memaknai, dan melaksanakan fungsi jabatan yang diembannya dengan pertanggung jawaban total. Apa yang mereka cari?

Jangan-jangan Max Weber benar ketika mengatakan, profesi politik itu matapencaharian. Orang banyak mengejar dan memperebutkannya sekadar untuk kenyang diri dan kroni. Lalu, nilai dan idealisme sekadar ornamen indah tanpa makna, karena yang dikejar ialah posisi, materi, dan mobilitas diri yang tak bertepi.

Lemah karakter Rakyat sesungguhnya gundah dengan perangai para elitenya yang banyak polah. Sebelum menduduki posisi mereka mungkin banyak sosok idealis. Bahwa politik dan jabatan publik itu jalan berkhidmat untuk kemajuan bangsa dan negara, bukan mengejar harta dan takhta. Uang dan jabatan pun diperoleh
dengan cara halal, bukan dengan muslihat dan upeti. Jabatan pun ketika sudah di tangan dimanfaatkan untuk pengkhidmatan, sekaligus dapat dipertanggungjawabkan sebagai amanah dihadapan Tuhan. Tunaikan amanah karena tak ada iman bagi yang tak menunaikan amanah, sabda Nabi.

Bagi mereka yang idealis jabatan bukan diburu, apalagi dipertukarkan dengan uang dan jabatan lain yang menggiurkan. Jabatan pantang diselewengkan dan dijadikan lahan korupsi dan penyimpangan. Sekali jabatan diterima maka saat itu jabatan berubah menjadi amanah dan janji yang wajib ditunaikan dengan
kesungguhan. Taruhannya kehormatan diri, bahkan jiwa. Jabatan bukanlah kejayaan dan kemegahan diri. Jabatan bukan dijadikan jalan tol memenuhi hasrat-hasrat loba dan tamak.

Ketika banyak pejabat publik menyelewengkan jabatan dan menjadikannya lumbung uang serta kemegahan tanpa rasa sungkan, sesungguhnya akar masalahnya bukan pada sistem belaka, tetapi pada penyakit mental mereka. Penyakit lemahnya karakter diri selaku manusia-manusia yang tangguh dengan prinsip dan makna hidup, sekaligus tahan cobaan dan godaan duniawi.
Mereka kehilangan karakter amanah, kejujujuran, kesetiaan, kesahajaan, kebaikan, kesatriaan, dan kepatutan. Mereka bahkan kehilangan rasa malu dan kehormatan diri.

Penyakit lemah karakter yang menumbuhkan jiwa korup, penyimpangan, kemegahan, dan lupa diri boleh jadi tumbuh dalam virus keterbelakangan mentalitas laksana orang yang tiba-tiba "munggah bale" (naik takhta) kemudian mengalami kejutan budaya. Penyakit "munggah bale" tidak mengenal latar belakang suku, ras, dan golongan. Tidak pula mereka yang sekuler atau agamis. Bagi mereka yang agamis bahkan penyakit jenis ini diperkuat dengan spirit dan dalih keagamaan sehingga terkesan sakral dan sarat pesona moral.

Penyakit "munggah bale" telanjur meluas dan diproduksi lewat berbagai media yang populer, mengundang hasrat anak-anak bangsa lainnya untuk mengikuti jejak berebut takhta tanpa pertanggung jawaban moral yang tinggi. Banyak anak negeri bahkan belajar menjadi broker guna menapaki tangga politik, yang mengorbankan idealisme kebeliaan. Seolah jabatan dan mobilitas
hidup itu sekadar nilai guna, yang harus diraih dengan cara apa saja untuk kesenangan dan kejayaan diri minus nilai dan makna utama.

Mentalitas "munggah bale" dipersubur oleh hasrat berlebih melahirkan akumulasi ketamakan kuasa. Orang biasa dan terpandang, elite sekuler dan agamis, setelah berkuasa sama-sama lapar takhta dan harta. Pada setiap kemegahan dan ketamakan selalu ada dalih pembenar yang meyakinkan publik. Kata pepatah Arab, singa-singa lapar tak mendekat ke telaga bila anjing-anjing
telah menjilatnya. Tapi, bagi para singa berdasi, apa saja boleh tanpa rasa sungkan.

Alhakumu at-takatsur, khatta zhurtumu al-maqabir.... (QS At-Takatsur: 1-8)

Ayat 1. Bermegah megahan (harta ,kedudukan, kemuliaan )telah melalaikan kamu .
Ayat 2. Sampai kamu masuk kedalam kubur .
Ayat 3. Janganlah begitu ,kelak kamu akan mengetahui akibat dari perbuatanmu itu .
Ayat 4. Dan janganlah begitu,kelak kamu akan mengetahui.
Ayat 5. Janganlah begitu ,jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin .
Ayat 6. Niscaya kamu benar benar akan melihat neraka jahannam.
Ayat 7. Dan sesungguhnya kamu benar benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin (melihat dg kepala sendiri hingga menimbulkan keyakinan yg kuat ).
Ayat 8. Kemudian kamu pasti akan di tanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yg kamu megah megahkan di dunia itu ).

Smoga bisa menjadi bahan renungan bersama .
Sumber : Republika

Kisah Sedih Dari Makhluk Allah



Kisah ini merupakan kisah tauladan, sangat inspiratif dan mendidik.  sayah mengutipnya dari akun facebook milik Ukhti Jeanny Dive, semoga bermanfaat.
Bismillaahir rohmanir rohiim.  Assalamu’alaykum warohmatullahi wa barokaatuh.
Saudara-saudariku tercinta yang dirahmati oleh Allah ta’ala…
Sesungguhnya seluruh makhluk ciptaan Allah ta’ala itu, pasti akan dihimpun kembali oleh Allah pada ‘yaumul qiyamah’ nanti. Binatang, tumbuh-tumbuhan, hingga makhluk ghaib yang tidak tertangkap oleh indera kita sekali pun, juga merupakan makhluk-Nya yang berkaum-kaum dan umat sebagaimana kita selaku manusia. Untuk itu marilah kita saksikan firman Allah ta’ala yang menyebutkan perihal ini :
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Allah mereka dihimpunkan.” (QS. Al-An’aam {6}:38).
Oleh karena mereka juga umat seperti kita, maka (semisal) binatang, tentu di antara mereka juga terdapat naluri rasa kasih dan sayang, serta saling mencintai di antara sesama jenis atau kaumnya. Begitu juga sebaliknya, bisa jadi mereka saling membenci bahkan saling membunuh! :’( Maka sebagai makhluk (sejenis) yang bersaudara, tentu saja kita ingin mengetahui “kesamaan” kita dengan binatang, dalam hal peranan cinta dan kasih sayang di antaranya.
Untuk itu duhai saudara-saudariku tersayang, saksikanlah adegan-adegan gambar berikut ini…



Tampak seekor burung betina terseok-seok di sebuah jalan raya. Bisa jadi ia sakit, sehingga tidak mampu mengepakkan sayapnya untuk terbang. “Ooh… kemanakah engkau mencari makanan wahai suamiku..” ucapnya lirih ~~~



“Istriku, maafkan aku telah membuatmu lama menungguku. Sekarang makanlah ini dulu, semoga dapat menguatkanmu, dan kamu dapat terbang agar kita segera pulang..” ajak sang suami kepada istrinya, dan berusaha menyuapi makanan yang di bawanya. Namun kondisi sang istri kian melemah, semakin lemah, lalu terbaring…

“Wahai istriku, mengapa engkau tak memakan makanan yang aku suapi? Dan mengapa pula engkau tidur di jalanan ini? Ayolah istriku, mari kita pulang…” Sang suami pun berusaha mengangkat tubuh istrinya yang sudah terkulai dan tidak bergerak lagi….

Mendapati istrinya yang sudah tidak bergerak dan terbujur kaku, barulah sang suami menyadari bahwa istrinya… telah mati!  “Istriku… bangunlah, bangunlah sayang… Jangan engkau tinggalkan aku seperti ini…” jerit sang suami…

“Yaa Allaah… hidupkanlah kembali istriku yaa Allah, hidupkanlah kembali yaa Allah… huu..huuu…” ratap sang suami memohon kepada Rabb-nya.

Namun akhirnya suami burung itu menyadari, bahwa pertemuan, jodoh, rezeki, dan maut merupakan kehendak dan ketentuan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Maka sang suami pun akhirnya pasrah dan berdoa… “Yaa Allah, bila ini sudah menjadi ketentuanmu, maka aku ikhlas. Ampunilah kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan oleh istriku, dan tempatkanlah ia di sisi-Mu yang terbaik. Yaa Allah, bila engkau mengizinkannya, pertemukan dan satukanlah kami kembali di Jannah-Mu. Sungguh aku mencintainya karena-Mu yaa Allah, maka dengarkanlah permohonanku ini. Inna lillaahi wa inna illaaihi rooji’uun…”
Wahai saudara-saudariku yang semestinya saling mencintai karena Allah…
Tidakkah engkau merasa malu ketika mendapati keberadaan suatu umat, dimana mereka sesungguhnya tidak memiliki akal, namun hanya dengan menggunakan nalurinya saja, mereka mampu bersaudara dan saling mencintai di antaranya…!?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (dienul) Allah, janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran {3}:103).
Wahai hamba Allah yang semestinya bersaudara, hentikanlah permusuhan sesamamu. Jadikanlah perbedaan dan khilafiyah itu,sebagai rahmat yang memang ditakdirkan oleh Allah ta’ala untuk kita. Maka yakinlah wahai saudara-saudariku tersayang, bahwa Ukhuwah Islamiyah dan rapatnya barisan umat, merupakan KEMENANGAN Dien Islam yang sesungguhnya.
Yaa Allah, saksikanlah… ^_^,
Billaahi taufik wal hidayah,
Wassalamu’alaykum wr.wb.
~∂eanny♥divΞ