halaman

Minggu, 01 Juli 2012

Berburu Kursi, Berebut Jabatan



Abu Dzar al-Ghifari sahabat Nabi SAW yang zuhud dan wara.
Sebagai sosok yang saleh dan sangat bersahaja. Dia bahkan tokoh ternama ah lal-shufah, yang selalu berkumpul di beranda rumah Nabi bersama mereka yang ahli ibadah, tetapi cenderung menjauhi dunia. Ketika figur yang baik ini meminta jabatan, seraya Nabi mencegahnya. Bahwa urusan publik harus ditunaikan oleh ahlinya sekaligus mampu mempertanggung jawabkannya.

Umar bin Khattab ketika hendak menerima amanat kekhalifahan menggantikan Abu Bakar merasa berat, karena betapa ia merasa tak mampu melampaui kebaikan Khalifah pertama itu. Padahal, sejarah mencatat betapa Umar yang lebih suka disebut Amir al-Mu'minin itu terbilang pemimpin yang kuat, sukses, dan paling menjunjung tinggi amanat dalam mengurus rakyat. Dialah sosok al-Faruq.

Khalid bin Walid setelah masuk Islam menjadi panglima perang tertangguh hingga dijuluki Nabi sebagai syaifullah (pedang Allah). Perluasan Islam hingga ke Mesir, Irak, dan Syam di masa Khalifah Umar bin Khattab tidak lepas dari keperkasaan Khalid. Tetapi, dalam peristiwa penaklukan Syam, Khalid tiba-tiba dicopot Umar dari jabatannya sebagai panglima perang. Bagaimana sikap Khalid? Dia ikhlas menerimanya seraya berkata, aku berperang bukan karena Umar, melainkan karena Allah.

Bagi Nabi dan para sahabatnya yang utama jabatan bukan posisi yang ditempati, apalagi harus dikejar dengan hasrat ambisi. Jabatan itu mutlak amanah yang wajib ditunaikan dengan komitmen dan pertanggungjawaban yang tinggi. Kesatriaan (al-futuwwah) siapa pun yang bersedia memegang jabatan umat atau rakyat terletak pada penunaian amanah dan pertanggung jawabannya dengan penuh kehormatan diri.

Komitmen jabatan

Di negeri ini, para elite dan anak-anak negeri banyak berburu jabatan-jabatan publik dengan penuh percaya diri. Demokrasi telah mengajarkan secara fasih bagaimana para elite berebut posisi politik tanpa rasa sungkan, tidak jarang dengan sikap narsis, dan gampang beriklan diri. Demi posisi tinggi, politik uang dan upeti pun menjadi tradisi, yang tidak jarang diperoleh dengan korupsi.
Semuanya seolah serba mudah dan sekadar jalan mobilitas diri seakan tanpa konsekuensi.

Semoga niat utama meraih posisi-posisi publik yang penting dan strategis itu benar-benar bermotif mengabdi pada negeri dan mengurus hajat hidup rakyat. Sebagai jalan mewujudkan cita-cita nasional yang diletakkan oleh para pendiri bangsa ini. Lebih bermakna lagi manakala menjadi jalan menuju rida Tuhan.
Sebab, setiap posisi publik selain dibayar dengan uang rakyat, seluruhnya memang untuk mengurus hajat hidup orang banyak sehingga negeri ini semakin maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat.

Alangkah naif manakala jabatan-jabatan publik itu hanya dijadikan lahan mobilitas diri untuk meraih kuasa, harta, dan kejayaan duniawi. Sejumlah kasus tragis menunjukkan mereka yang sudah di posisi-posisi publik itu kalau tidak korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan, kemudian pindah posisi, bahkan lompat jabatan baru ke yang lebih tinggi sebelum jabatan lama usai. Jabatan-jabatan penting itu malah dijadikan "bancakan" untuk bagi-bagi uang dan posisi, sekaligus memperkaya diri dan kroni. Mereka lupa posisi yang ditempati bukanlah miliknya sendiri, melainkan sekadar titipan rakyat untuk ditunaikan sebagai amanah terpuji.

Tahun 2014, pasti akan menjadi masa paling krusial di negeri ini. Para menteri dan politisi sudah bersiap diri 'nampang' posisi hingga iklan diri dengan uang dari kementeriannya. Janji dan pesona diri tentu akan semakin bertaburan. Para wakil rakyat pun malah giat bangun toilet dan ruang sidang miliaran rupiah seolah uang negara adalah miliknya sendiri. Rupanya jabatan bukan lagi amanat yang harus dipertanggungjawabkan secara jujur dan penuh komitmen, kecuali menjadi sarana bermegah-megah di tengah derita rakyat yang diwakili dalam hidup miskin dan teraniaya sistem.

Kita tidak tahu persis apa yang bersarang dalam benak pikiran para elite dan anak negeri yang menempati jabatan-jabatan publik di negeri ini. Bagaimana mereka menjiwai, memahami, memaknai, dan melaksanakan fungsi jabatan yang diembannya dengan pertanggung jawaban total. Apa yang mereka cari?

Jangan-jangan Max Weber benar ketika mengatakan, profesi politik itu matapencaharian. Orang banyak mengejar dan memperebutkannya sekadar untuk kenyang diri dan kroni. Lalu, nilai dan idealisme sekadar ornamen indah tanpa makna, karena yang dikejar ialah posisi, materi, dan mobilitas diri yang tak bertepi.

Lemah karakter Rakyat sesungguhnya gundah dengan perangai para elitenya yang banyak polah. Sebelum menduduki posisi mereka mungkin banyak sosok idealis. Bahwa politik dan jabatan publik itu jalan berkhidmat untuk kemajuan bangsa dan negara, bukan mengejar harta dan takhta. Uang dan jabatan pun diperoleh
dengan cara halal, bukan dengan muslihat dan upeti. Jabatan pun ketika sudah di tangan dimanfaatkan untuk pengkhidmatan, sekaligus dapat dipertanggungjawabkan sebagai amanah dihadapan Tuhan. Tunaikan amanah karena tak ada iman bagi yang tak menunaikan amanah, sabda Nabi.

Bagi mereka yang idealis jabatan bukan diburu, apalagi dipertukarkan dengan uang dan jabatan lain yang menggiurkan. Jabatan pantang diselewengkan dan dijadikan lahan korupsi dan penyimpangan. Sekali jabatan diterima maka saat itu jabatan berubah menjadi amanah dan janji yang wajib ditunaikan dengan
kesungguhan. Taruhannya kehormatan diri, bahkan jiwa. Jabatan bukanlah kejayaan dan kemegahan diri. Jabatan bukan dijadikan jalan tol memenuhi hasrat-hasrat loba dan tamak.

Ketika banyak pejabat publik menyelewengkan jabatan dan menjadikannya lumbung uang serta kemegahan tanpa rasa sungkan, sesungguhnya akar masalahnya bukan pada sistem belaka, tetapi pada penyakit mental mereka. Penyakit lemahnya karakter diri selaku manusia-manusia yang tangguh dengan prinsip dan makna hidup, sekaligus tahan cobaan dan godaan duniawi.
Mereka kehilangan karakter amanah, kejujujuran, kesetiaan, kesahajaan, kebaikan, kesatriaan, dan kepatutan. Mereka bahkan kehilangan rasa malu dan kehormatan diri.

Penyakit lemah karakter yang menumbuhkan jiwa korup, penyimpangan, kemegahan, dan lupa diri boleh jadi tumbuh dalam virus keterbelakangan mentalitas laksana orang yang tiba-tiba "munggah bale" (naik takhta) kemudian mengalami kejutan budaya. Penyakit "munggah bale" tidak mengenal latar belakang suku, ras, dan golongan. Tidak pula mereka yang sekuler atau agamis. Bagi mereka yang agamis bahkan penyakit jenis ini diperkuat dengan spirit dan dalih keagamaan sehingga terkesan sakral dan sarat pesona moral.

Penyakit "munggah bale" telanjur meluas dan diproduksi lewat berbagai media yang populer, mengundang hasrat anak-anak bangsa lainnya untuk mengikuti jejak berebut takhta tanpa pertanggung jawaban moral yang tinggi. Banyak anak negeri bahkan belajar menjadi broker guna menapaki tangga politik, yang mengorbankan idealisme kebeliaan. Seolah jabatan dan mobilitas
hidup itu sekadar nilai guna, yang harus diraih dengan cara apa saja untuk kesenangan dan kejayaan diri minus nilai dan makna utama.

Mentalitas "munggah bale" dipersubur oleh hasrat berlebih melahirkan akumulasi ketamakan kuasa. Orang biasa dan terpandang, elite sekuler dan agamis, setelah berkuasa sama-sama lapar takhta dan harta. Pada setiap kemegahan dan ketamakan selalu ada dalih pembenar yang meyakinkan publik. Kata pepatah Arab, singa-singa lapar tak mendekat ke telaga bila anjing-anjing
telah menjilatnya. Tapi, bagi para singa berdasi, apa saja boleh tanpa rasa sungkan.

Alhakumu at-takatsur, khatta zhurtumu al-maqabir.... (QS At-Takatsur: 1-8)

Ayat 1. Bermegah megahan (harta ,kedudukan, kemuliaan )telah melalaikan kamu .
Ayat 2. Sampai kamu masuk kedalam kubur .
Ayat 3. Janganlah begitu ,kelak kamu akan mengetahui akibat dari perbuatanmu itu .
Ayat 4. Dan janganlah begitu,kelak kamu akan mengetahui.
Ayat 5. Janganlah begitu ,jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin .
Ayat 6. Niscaya kamu benar benar akan melihat neraka jahannam.
Ayat 7. Dan sesungguhnya kamu benar benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin (melihat dg kepala sendiri hingga menimbulkan keyakinan yg kuat ).
Ayat 8. Kemudian kamu pasti akan di tanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yg kamu megah megahkan di dunia itu ).

Smoga bisa menjadi bahan renungan bersama .
Sumber : Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar